Saya Pindah Ke Ekosistem Linux Dan Ternyata Lebih Baik Dari Yang Saya Duga
“Jika anda benar-benar ingin mencari kebebasan dalam ekosistem komputasi anda, maka pindah ke Linux adalah pilihan yang tepat. Linux memberikan anda kebebasan untuk menggunakannya, mengeksplorasinya, mendistribusikannya, dan bahkan memodifikasinya secara leluasa tanpa takut akan penyalahgunaan hak kepemilikan”
– catatan editor –
Artikel asli dalam Bahasa Inggris oleh: Dan Gillmor
Ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh: Edy Kesuma
Dicek dan ditinjau ulang oleh: Reopan editor
Pada musim semi di tahun 2012 kemarin, saya mempensiunkan laptop MacBook Air saya untuk terakhir kalinya. Mulai dari sana lingkungan komputasi utama saya (setidaknya pada sebuah komputer laptop) adalah GNU / Linux. Saya telah meninggalkannya, berusaha sesegera mungkin, lingkungan ketat dan kendali gila Apple dan Microsoft yang semakin banyak menipu para pengguna komputer personal.

Hampir empat tahun sebelumnya, ditempat ini, saya menulis potongan artikel ini dalam sebuah laptop yang menggunakan sistem operasi Linux dan program pengolah kata LibreOffice, bukan pada sebuah Mac atau mesin Windows yang menggunakan program Microsoft Word. Semuanya tampak berjalan baik-baik saja.
Tidak, bahkan lebih dari itu – semuanya tampak luar biasa.
Saya merekomendasikan langkah migrasi ini bagi banyak rekan-rekan – tidak kepada setiap orang, dengan maksud, untuk setiap orang yang tidak takut bertanya sesekali, dan khususnya bagi siapapun yang memiliki pemikiran terhadap sudut pandang teknologi dan komunikasi di abad ke-21. Sebagian besar kepada orang-orang yang peduli akan kebebasan.
Komputer personal berawal di era 1970an. Situasi ini yang kemudian mempertegas kemunculan era teknologi dimana pengguna bisa beradaptasi pada apapun yang mereka beli dalam berbagai bentuk cara. Ketika komputasi mobile datang dalam wujud smartphone, keseimbangannya mulai bergeser. Para penjual produk khususnya Apple, menguasai kendali yang lebih signifikan. Mereka membuat kita menjadi lebih nyaman, dan kita secara kolektif berkata, “Ini Hebat!”
Beberapa bulan lalu, ketika Apple memperkenalkan iPad Pro, sebuah tablet lebar dengan sebuah keyboard, CEO Tim Cook menyebutnya sebagai “ekspressi paling jelas dari misi kami pada masa depan komputasi personal.” Berita tersebut seperti momen “ohh begitu” bagi saya. Antara lain, pada ekosistem iOS pengguna diwajibkan untuk memperoleh software dari toko aplikasi online Apple Store, dan para developer diwajibkan untuk menjualnya dari toko yang disediakan perusahaan. Hal ini mungkin saja merupakan definisi komputasi personal bagi Apple, tapi tidak untuk saya.
Sementara itu, Window 10 dari Microsoft (hampir semua perbaikan/peningkatan dari Windows 8) tampak terlihat seperti penyamaran spyware dalam bentuk sistem operasi (karakteristik tersebut mungkin tidak adil, tetapi tidak banyak berbeda). Benar, pembaharuan besar dari versi yang telah terinstal diberikan secara “gratis”, namun hal ini harus dibayar mahal dengan kebebasan pada data dan kendali pengguna, sesuai dengan informasi dari beberapa orang yang menganalisa bagaimana sistem kerja di dalamnya.
Memang bukan seperti praktek duopoli komersil sebenarnya. Sistem operasi Google Chrome relatif masih merupakan pendatang baru, dimana produk Chromebook dijual oleh berbagai manufaktur. Namun begitu produk ini memiliki beberapa batasan dan mengharuskan pengguna agar nyaman (saya tidak) pada pendekatan perusahaan yang bergantung pada dukungannya terhadap model bisnis berbasis iklan.
Jadi bagi siapapun yang sekilas merasa tertarik pada penguasaan kebebasan secara signifikan di desktop dan komputasi dalam laptop, Linux adalah penyelamat terakhir yang anda perlukan. (Dilihat berbagai macam perangkat, dari superkomputer ke server kemudian ke ponsel mobile dan ke sistem terintegrasi, Linux merupakan sumber roda penggeraknya atau sebuah “powerhouse”). Saya bersyukur telah membuat langkah ini.
@@@@
Sebelum saya menjelaskan bagaimana caranya, adalah hal yang vital untuk menyadari keseluruhan konteks dari pemberontakan kecil saya ini. Sentralisasi ulang adalah hal normal baru dalam teknologi dan komunikasi, sebuah trend yang saya khawatirkan beberapa waktu sebelumnya, ketika saya mendeskripsikan dalam cara yang lebih umum bagaimana saat itu saya mencoba memisahkan diri saya dari layanan dan produk-produk perusahaan seperti Apple (sudah tuntas), Microsoft (hampir tuntas) dan Google (masih sulit). Kenyamanan, saya katakan saat itu, tidaklah cukup layak untuk pertukaran yang sedang kita lakukan.
Seperti yang saya bahas sebelumnya, saya juga bertanya-tanya seberapa perlunya memperoleh kebebasan pada suatu komputer personal, sejak komputasi semakin dan semakin menuju ke arah perangkat mobile. Suka atau tidak, Apple dan Google telah menguasai bidang ini dengan iOS dan Android-nya. Apple, seperti yang diketahui, adalah perusahaan yang gila kendali pada perangkatnya. Meskipun Google memberikan secara cuma-cuma versi dari Android, semakin lama semakin banyak potongan esensi sistem operasi ini menjadi bagian dari hak kepemilikan software yang mengikat pengguna kedalam dunia periklanan Google. Bisakah anda menyebut hal ini sebagai “duopoli?”
Sentralisasi ulang menjadi hal yang sangat menakutkan karena ditentukan oleh perkembangan kekuasaan dari industri komunikasi, yang sedang berusaha mati-matian agar bisa mengendalikan apa yang anda dan saya lakukan pada koneksi yang telah kita bayarkan, walaupun instansi pemerintah FCC di Amerika menyambut keputusan yang berpihak pada “netralitas internet/jaringan” di tahun 2015. Perusahaan Comcast adalah pemonopoli dari layanan broadband pada sebagian besar wilayah, meskipun anda mengetahui beberapa pesaing ada disini dan disana. Para ISP bergerak cepat membebankan penggunaan bandwith data yang tidak berpengaruh pada kapasitas dan semua hal yang bisa dilakukan untuk memperluas kekuasaan dan keuntungan mereka, seperi apa yang disampaikan oleh Susan Crawford secara detail. Dan operator seluler yang menentang netralitas jaringan dengan layanan “zero rated” entah kenapa FCC sebut sebagai hal yang inovatif.
Sementara itu, karena para pengguna begitu sering memilih kenyamanan dan pertolongan tidak terlihat untuk kebebasan jangka panjang mereka, pemain sentral seperti Facebook menjalankan monopoli yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Seperti bentuk pencarian oleh Google, mereka memperoleh keuntungan yang luas akibak dampak dari jaringan internet dimana para pesaing sulit atau tidak mungkin untuk menantangnya pada bidang tersebut.
Jangan lupakan pemerintah, yang mana benar-benar membenci desentralisasi. Layanan terpusat menciptakan kondisi choke point (leher botol), dan membuat kemudahan dalam penegakan hukum, pengawasan, pengaturan dan pengumpulan pajak. Badan pengawas menyukai penerapan choke point pada pengumpulan data yang akhirnya menempatkan komunikasi dan kebebasan setiap orang, pada bahaya.
Leher botol atau choke point juga memudahkan menopang model bisnis perusahaan dengan cara yang bisa menghasilkan banyak uang kampanye untuk politisi. Hollywood adalah contoh utamanya, dimana adanya praktek kartel hak cipta telah membawa ke bentuk hukum yang tidak masuk akal dan sangat ketat seperti sistem hak cipta yang ada saat ini.
Hak cipta adalah kunci menurut teman saya Cory Doctorow sebagai “perang sipil yang akan terjadi melebihi tujuan umum dari komputasi,” sebuah kampanye, kadang dengan jelas, untuk mencegah orang-orang yang membeli perangkat dari kenyataan benar-benar memilikinya. Hukum hak cipta adalah pengendalian yang tidak normal, karena memperbolehkan mereka secara resmi menghalangi kita mengutak-atik dari apa yang mereka jual.
Trend-trend tersebut tidak semuanya buruk. Penggagas dari gerakan beberapa tahun terakhir ini adalah salah satu penangkal dari bentuk kendali yang semakin ketat saat ini. Jadi merupakan komponen kunci dari para pembuat proyek: gratis (seperti kebebasan) dan proyek software open source dimana pengguna secara khusus berhak untuk memodifikasi dan menyalin kodenya.
Dari sanalah Linux datang. Meskipun kami bekerja lebih banyak pada perangkat mobile, ratusan juta dari kami masih tetap bekerja dengan desktop dan laptop. Linux dan komunitas pengembang software lainnya mungkin hanya sebagai sebagian dari solusi, namun mereka benar-benar memberikan manfaat. Lebih baik untuk memulainya dari manapun, dan bekeja melampuinya, daripada diam saja dan menyerah.
@@@@
Saya telah menginstal Linux beberapa kali di sepanjang tahun sejak pertama Linux benar-benar menjadi sistem operasi yang seutuhnya. Namun saya selalu kembali lagi, baik ke Windows atau ke Mac, tergantung pada mana yang menjadi sistem utama yang saya gunakan saat itu. Mengapa? Karena terdapat terlalu banyak hambatan, dan dalam waktu yang cukup lama Linux tidak cukup banyak memiliki aplikasi yang saya perlukan. Pengaruhnya terlalu banyak untuk kesabaran saya yang terbatas untuk aktifitas pemakaian sehari-hari.
Namun saya menjadi semakin dan semakin lebih baik, dan di 2012, saya memutuskan itulah waktunya. Saya bertanya kepada teman saya Cory versi Linux apa yang dia gunakan. Ini adalah pertanyaan kunci, karena Linux ada dengan banyak rasa yang berbeda. Para developer telah mengambil kode inti dan menciptakan berbagai versi yang dikemas untuk berbagai keperluan, rasa dan gaya komputasi. Ketika sebagian besar menggunakan versi dasar, komponen-komponen berbasis free-software, beberapa add on dengan kode yang memiliki hak kepemilikan seperti Flash, menjadi semakin sesuai dengan apa yang pengguna butuhkan dalam aktifitas komputasi mereka. Hardware atau perangkat kerasnya juga merupakan pertanyaan kunci, karena tidak semua komputer memiliki dukungan terhadap kesesuaian hardware.
Cory memberitahu saya bahwa dia menggunakan Ubuntu pada laptop Lenovo ThinkPad miliknya. Saya telah menggunakan tipe ThinkPad, karena kekokohan hardwarenya dan layanan perusahannya yang baik, belum lagi ditambah kemampuannya untuk bisa mengupgrade komponen internalnya. Karena saya berhasrat untuk membeli model yang lebih baru, kadang saya mengakali model yang saya miliki, yaitu tipe T450, seperti mengganti hardisk mekanis dengan model SSD yang lebih cepat dan penambahan memori RAM yang ditunjang oleh laptop.
Saya juga lebih condong ke sistem operasi Ubuntu, sebuah versi Linux yang dibuat oleh perusahaan Canonical, yang dikepalai oleh mantan pengusaha software bernama Mark Shuttleworth. Ubuntu telah dikenal akan dukungannya terhadap model ThinkPad, khususnya jika mereka bukanlah produk baru. Saya telah menjalankan Ubuntu dalam empat laptop ThinkPad yang berbeda sejak saya berganti lingkungan komputasi. Ubuntu juga memiliki rasa yang berbeda karena Canonical memiliki visi jelas tentang bagaimana sesuatu seharusnya bekerja.
Jadi jika anda ingin mencoba distribusi Linux lainnya, sebagaimana sebutan untuk berbagai rasa yang dimilikinya. Ada sangat banyak jika harus disebutkan, yang mana secara bergantian menjadi salah satu yang terbaik atau yang terburuk dalam ekosistem Linux. Para pengguna baru harus yakin mencoba salah satu dari distribusi yang lebih populer, yang mana telah melalui pengujian dan memiliki dukungan yang lebih baik dari komunitas atau dari perusahaan yang membuatnya.
Salah satu dari distribusi Linux ini adalah Linux Mint, yang berbasiskan pada Ubuntu (yang dalam gilirannya berbasis Debian, yang lebih menyerupai versi inti dari Linux). Mint membuat saya jatuh hati dan bagi banyak orang lainnya karena mungkin merupakan versi Linux terbaik bagi orang-orang yang yang sedang menggunakan sistem dengan hak kepemilikan dan ingin cara termudah untuk melakukan transisi. Kadang-kadang saya tergoda untuk menggantinya, namun masih tetap melekat dengan Ubuntu setidaknya sampai Canonical benar-benar mengacaukannya yang mana tentu tidak saya harapkan.
Sebelum saya membuat lompatan ini saya bertanya ke beberapa orang untuk mendapatkan saran tentang bagaimana cara terbaik untuk pindah dari komputasi sistem hak milik ke sistem open source. Beberapa masukan berubah menjadi langkah yang sangat membantu: Saya menyingkirkan Apple Mail dan kemudian menginstal Mozilla Thunderbird di Mac saya, dan lebih dari sebulan membiasakan diri pada perbedaannya, meskipun tidak terlalu banyak berbeda dari cara saya menggunakan email. Saya juga menginstal LibreOffice, sebuah program yang mirip dengan Microsoft Office, yang mana tidak biasa namun memadai digunakan untuk berbagai keperluan.
Seperti sebagian besar orang yang menggunakan komputer personal, waktu saya hampir seluruhnya digunakan hanya untuk beberapa aplikasi saja seperti: perambah web, email, program pengolah kata. Untuk perambah di Linux saya menginstal Firefox dan Chromium, sebuah varian program open source dari Google Chrome. Sebagai catatan, Thunderbird tepat dan bagus untuk aktifitas email, dan LibreOffice juga tidak ada masalah untuk kebutuhan pengolah kata.
Namun saya masih membutuhkan sistem operasi Windows untuk beberapa kebutuhan. Secara khusus, software kursus online yang saya gunakan di kampus saya, menolak bekerja dalam program perambah dalam Linux. Jadi saya menginstal Windows dalam sebuah “virtual machine,” sebuah cara untuk menjalankan Windows dan programnya dari sistem operasi Linux. (Saya juga memasang Windows pada perangkat SSD terpisah lain dalam kasus yang lebih langka ketika saya membutuhkannya secara langsung, karena keterbatasan dalam virtual machine yang mengurangi performa komputer aslinya.
Saat ini saya hampir tidak membutuhkan Windows. LibreOffice telah diperbaharui dalam bentuk yang lebih bagus. Bagi yang mengerjakan kegiatan editing berbasis cloud Google Doc adalah hal yang sulit, namun LibreOffice sedang dalam proses untuk masuk ke bentuk ini. Software yang digunakan oleh kampus saya untuk kursus online saat ini sudah mendukung browser/perambah di Linux. Salah satu program yang masih sering saya gunakan di Windows adalah Camtasia, untuk “screencasting” (merekam aktifitas layar komputer dalam bentuk video audio). Beberapa program screencasting Linux bekerja untuk tugas-tugas dasar. Dan sekali waktu, saya memindahkan slide Microsoft Power Point ke software presentasi LibreOffice.
Anehnya, hal tersulit pada awal perpindahan adalah menyesuaikan pada kebiasaan penggunaan keyboard. Meninggalkan gaya pengetikan Apple dan mempelajari ulang kombinasi keyboard Windows, pada sebagian besar, adalah umum digunakan di Linux. Setelah beberapa bulan kemudian semuanya menjadi hal yang biasa.
Salah satu hal yang paling saya suka dari Linux adalah frekuensi pembaharuan softwarenya. Ubuntu dan banyak versi lainnya secara rutin memberikan pembaharuan, meskipun saya cenderung untuk menggunakan apa yang Ubuntu sebut dengan versi LTS (Long Term Support). Dan mereka sangat cepat memberikan pembaharuan ketika masalah keamanan ditemukan. Hampir seminggu berlalu tanpa masalah keamanan dalam sistem operasi maupun program-program yang menyertainya – lebih banyak waktu dibandingkan dengan yang saya lihat di Apple.
Apa yang paling saya sukai ketika pindah ke Linux saat ini adalah jarang melakukan sesuatu yang benar-benar menakutkan bagi seorang pengguna yang masih awam. Tidak perlu lagi membuka sebuah command-line dan kemudian mengetikkan “sudo apt-get update” atau instruksi sejenis lainnya. Tidak akan ada tampilan peringatan yang memberitahu kapasitas partisi hardisk terlalu sedikit untuk menjalankan pembaharuan sistem, yang membutuhkan cara yang tidak sederhana bagi pemula untuk menghilangkan komponen OS yang sudah lama. Tidak diperlukan pencarian, setelah melakukan pembaharuan, potongan hardware yang tiba-tiba berhenti bekerja, sebagaimana yang pernah terjadi pada komputer trackpad saya sampai saya menemukan cara memperbaikinya dalam sebuah forum online. (Betul, hal ini bisa terjadi di Windows, namun proses pembuatannya terlalu luas untuk memastikan hardware mereka bisa bekerja dengan software dari Microsoft. Apple juga, memiliki masalah hardware, namun penggabungan pengembangan hardware dan software memberikan mereka keuntungan yang menarik).
Ketika terjadi suatu masalah, akan muncul suatu topik pembahasan dalam komunitas software open-source yang mana luar biasa membantu. Karena saya cenderung mengalami kendala pada saat adaptasi, saya seringkali bertanya untuk meminta pertolongan. Saya selalu mendapatkannya. Beberapa ahli super dalam forum ini bisa menjadi terlihat merendahkan atau kasar jika seseorang menanyakan sesuatu yang mereka pikir sepele, atau sebuah pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab dengan sedikit eksplorasi. Pertolongan dan peristiwa yang tidak mengenakan juga terdapat di Windows, Mac dan ekosistem mobile, namun terdapat semangat kebersamaan diantara sesama penganut open-tech yang bekerja bersama untuk tujuan yang baik.
Jika anda tertarik untuk mencoba desktop Linux, sangatlah mudah dijalankan pada komputer yang anda miliki saat ini. Ubuntu dan beberapa distribusi Linux lainnya memperbolehkan anda membuat kepingan DVD atau USB yang berisi sistem operasi lengkap dan berbagai aplikasi pendukungnya, dan bisa mem-boot langsung dari external hardisk untuk menjalankan mode percobaaan. Itu adalah cara yang bagus mencari tahu apakah hardware komputer anda bisa bekerja dengan baik. Hampir pasti bisa jika anda tidak sedang menggunakan laptop keluaran terbaru. Bahkan pada kenyataannya, salah satu hal terbaik dari Linux adalah bagaimana baiknya sistem operasi ini dijalankan pada komputer-komputer lama.
Salah satu solusi masalah instalasi Linux adalah membeli sebuah komputer yang sudah dipasang dengan sistem operasi lain sebelumnya, dan mendapatkan pembaharuan hardware secara reguler. Saya sebelumnya telah mempertimbangkan model laptop dari berbagai perusahaan seperti Dell, System76, dan ZaReason diantaranya. Saya baru mengunjungi perusahaan yang bernama Purism, yang menjual laptop dan dibangun dengan hardware dan software tanpa hak kepemilikan. Produk Librem 13 mereka sangat, sangat impresif. Purism telah mengadaptasi Linux dengan kemudahan penyesuaian hardware, dan saya tidak sabar untuk mencobanya segera.
Saya sering melakukan perjalanan, dan sebagai wujud tugas dari perusahaan hardware yang memiliki service center di beberapa belahan dunia – hal ini juga membutuhkan biaya tambahan – mereka akan mengirimkan seorang teknisi ke rumah saya, ke kantor atau hotel jika komputer saya mengalami masalah. Jika saya sudah putus ada pada laptop Lenovo yang saya miliki, mungkin hal yang pertama saya lihat adalah komputer Linux Dell.
Anda mungkin menyadari bahwa saya jarang menyebutkan biaya. Dengan sistem operasi desktop, saya tidak memerlukannya lagi, karena Microsoft dan Apple secara efektif menurunkan harga dari sistem operasi mereka hampir menjadi nol. Anda masih tetap membayar mereka ketika anda membeli komputernya tentu saja, namun bahkan pembaharuan besar sudah dibebaskan dari biaya. Dalam kasus Microsoft, meskipun demikian, label “gratis” terlihat seperti biaya yang tidak sepele dalam hal pengumpulan data pengguna secara masif.
Software aplikasi adalah cerita yang berbeda. Anda masih bisa berhemat dengan menggunakan software gratis dan open-source. Berdampingan dengan LibreOffice, Microsoft Office masih tampak mahal meskipun versi dasar untuk kategori “pelajar-rumahan” cukup terjangkau, dan kebanyakan orang menggunakan Microsoft Office karena disediakan oleh sekolah atau perusahaan dimana mereka berada.
Ada satu hal, yang perlu dipertimbangkan. Saya dengan rela membeli atau membayar suatu software, karena saya ingin memastikan sebanyak mungkin bahwa a) jika saya membutuhkan bantuan saya bisa segera mendapatkannya, dan b) para developer akan mendapat pemasukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas softwarenya. Saya dengan senang hati membayar software pendukung Linux yang bagus seperti Camtasia dan Scrivener, sebagai contohnya. Sementara itu saya, saya melakukan donasi ke proyek-proyek, baik yang dibuat oleh perusahaan atau para volunteer, yang softwarenya saya seringkali pergunakan. Ubuntu mungkin sebuah perusahaan yang memperoleh uang dari penyediaan layanannya – sebuah pendekatan yang populer dan terbukti pada dunia software open source – namun saya masih tetap berdonasi. LibreOffice mendapat lebih banyak dari yang saya gunakan, software ini menghasilkan uang. Ditto adalah proyek lain lagi.
Linux masih tetap dianggap sebagai penggunaan kasta kedua, setidaknya secara resmi ketika berhubungan dengan masalah memutar film dari DVD. Anda harus menginstal software tambahan yang para kartel hiburan sebut sebagai hal ilegal ketika memutar kepingan cd yang anda beli. Menggunakan layanan video streaming seperti Netflix dan Amazon bisa membuat timbulnya percekcokan, meskipun menjadi semakin mudah terima kasih kepada pembatasan digital yang terdapat di dalam beberapa software.
Apakah semua usaha ini layak untuk ditempuh? Saya menjawab “Ya.” Apapun yang bisa menambah atau melindungi kemampuan kita menggunakan teknologi sebagaimana yang kita inginkan, sebagai lawan dari bentuk pembatasan dan pemusatan kekuatan, adalah layak untuk dicoba. Dan jika banyak lagi dari kita yang tidak mencobanya, bisa dipastikan kemenangan akan berada di orang-orang yang menyukai pengawasan atau pengendalian.
@@@@
Hampir terlambat bagi Linux untuk menjadi sistem operasi yang populer di desktop/laptop, setidaknya di negara maju. Namun tidak terlalu terlambat bagi kita untuk menggunakannya, memastikan kebebasan pada beberapa level komputasi bagi mereka yang menginginkannya.
Apa yang kita lakukan pada ekosistem mobile, dimana memungkinkan mereka mengambil alih semua komputasi personal, menjadi hal yang lebih problematis. Android versi pihak ketiga mulai bermunculan melalui komunitas orang-orang yang dinamis seperti XDA Developer, yang ingin lebih banyak kebebasan. Ubuntu diantara banyak proyek open-source dunia sedang mengerjakan proyek sistem operasi mobile; diperlukan beberapa tahun untuk melangkah maju ke sebuah OS yang bisa melampaui perangkat. Namun dominasi mobile masih dibayang-bayangi Apple dan Google.
Saya mencoba sebanyak mungkin pilihan dalam sistem mobile ini, dengan harapan saya bisa menemukan sesuatu yang cukup baik untuk penggunaan sehari-hari meskipun tidak senyaman para pemain-pemain besar (Salah satu ponsel saya berjalan pada sebuah sistem operasi yang bernama Cyanogenmod). Saya akan memberitahu anda tentang bagaimana hal ini bisa berjalan segera.
Sementara itu, tolong selalu ingat: Kita memiliki pilihan – kita dapat membuat keputusan yang bisa mendorong batas kebebasan teknologi. Pilihan saya yang baru-baru ini telah menjadi pilihan untuk keluar dari cengkraman pengendalian dimanapun mungkin saya berada. Saya berharap anda mendapatkan beberapa pemikiran untuk melakukan hal yang sama. Tergantung pada bagaimana kita memilih, kita bisa memperoleh lebih banyak hal lagi, dan menghilangkan hal lainnya.