Mungkinkah Kita Sedang Mendidik Para Siswa Menjadi Seperti Robot

“Pengadaan dan penguasaan teknologi baru memang memungkinkan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Namun, dibaliknya tersimpan sisi gelap yang bisa menghancukan nilai kreatifitas. Teknologi yang salah arah hanya akan membuat seseorang menjadi malas dan terpenjara seperti robot yang hanya bekerja saat diberikan perintah.”

– catatan editor –

 

Artikel asli dalam Bahasa Inggris oleh: Danah Boyd

Ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh: Edy Kesuma

Dicek dan ditinjau ulang oleh: Reopan editor


Bukan Mendidik Robot
Pendidikan Generasi Modern

Penasaran menyaksikan kemungkinan bagaimana dia akan memproyeksikan kreativitasnya ke dalam sebuah kertas, saya memberikan sebatang crayon kepada anak saya yang masih berusia satu tahun. Dia mencoba memakannya. Saya menahan tangannya dan menunjukkan cara bagaimana untuk menggambar, dan dia mematahkannya menjadi dua bagian. Saya pergi sebentar untuk membuka pintu dan ketika saya kembali, dia telah tahu bagaimana mencorat-coret di hampir semua lantai kayu.

Crayon adalah teknologi yang sangat ajaib dan memiliki berbagai manfaat. Mereka dapat digunakan sebagai alat edukasi, atau sebagai pemicu. Dan dalam proses pengeksplorasian jati dirinya, anak-anak belajar merasakan kemampuan fisiknya dan norma sosial yang ada disekitarnya. “Tidak boleh mencolek mata kakakmu dengan crayon itu!” adalah salah satu peringatan biasa di dalam rumah. Belajar menggambar (dalam kertas dan dengan ekspresi memahami sesuatu hal) memiliki banyak hubungan dengan konteks, sebuah konteks yang membantu membuat sesuatu, sebuah konteks yang dipelajari diluar crayon itu sendiri.

Dari crayon ke kompas, kita telah belajar menggabungkan berbagai alat yang berbeda-beda dan belajar mengunakannya dalam kehidupan kita. Lalu mengapa teknologi komputasi dan perangkat yang terintegrasi jaringan secara konsisten membuat kita selalu tersandung masalah? Mengapa kita membayangkan teknologi selain sebagai penyelamat pendidikan, juga bisa menjadi iblis perusak pembelajaran melalui distraksi atau pengalihannya? Mengapa kita begitu sulit untuk melihatnya hanya sebagai alat yang nilai utamanya tertanam di dalam konteks?

Pendapat yang dibuat oleh Peg Tyre dalam artikel “iPad < Teachers” sudah mati. Personalisasi teknologi pembelajaran tidak akan secara ajaib memberikan solusi pada krisis pendidikan yang sedang kita alami. Isu yang sedang kita hadapi dalam pendidikan adalah sosial dan politik, tercermin dalam pertentangan dalam nilai sosial kita. Sikap sosial kita kepada guru-guru menurun drastis, sebuah perwujudan yang memiliki kesamaan dengan bagaimana sikap kita di masa lalu tentang tenaga kerja wanita.

“Daripada melihat pembelajaran sebagai sebuah proses dan menghargai pendidik sebagai bagian penting dalam kehidupan sosial yang sehat, kita selalu mencari jalan keluar termudah dari keadaan sulit, suatu solusi yang tidak mempertimbangkan penghargaan terhadap kerja keras yang telah merasuki pendidikan generasi muda kita”


Demi hal itu, kita bergantung pada teknologi yang hanya akan memperuncing isu yang telah ada tentang ketidakadilan dan ketidakpercayaan. Apa yang perlu dipertaruhkan bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan masa depan pembelajaran.

Pendidikan seharusnya bukan hanya tentang membaca, menulis dan berhitung. Para siswa perlu belajar bagaimana menjadi bagian dalam bermasyarakat. Dan secara bertahap, kehidupan sosial-lah yang menjadi penengah bagi teknologi. Sebagai hasilnya, pelarangan penggunaan teknologi dalam ruang kelas merupakan hal yang masuk akal. Ini dapat menghilangkan hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan antara sekolah dengan kehidupan modern.

Hal ini memaksa kita mempertimbangkan dua buah keterkaitan (sarat dengan muatan politis) tujuan sosial dari pendidikan, yaitu: untuk menciptakan generasi berpendidikan dan mengembangkan keahlian tenaga kerja.

Dari hal tersebut, terdapat berbagai interpretasi dari wacana personalisasi pembelajaran, yang membuat saya terus-menerus merasa optimis sekaligus merasa takut. Jika anda membawa personalisasi pembelajaran ke arah yang benar-benar positif secara logis, teknologi akan mengedukasi setiap siswa seefektif mungkin. Dan seperti yang kita ketahui, wacana yang berpusat pada individu sangat berakar pada neoliberalisasi di Amerika.

Namun bagaimana jika nanti terbawa ke arah yang salah? Bagaimana jika ternyata kita melatih para siswa menjadi seperti robot?

Biarkan saya bersikap sinis sejenak. Pada akhir tahun 1800an, tujuan pendidikan di Amerika adalah agar tidak mementingkan diri sendiri. Tentu, terdapat beberapa aktivis reformasi yang membayangkan semakin banyak warga berpendidikan akan dapat menciptakan masyarakat yang dekat dengan informasi. Namun apa yang membuat pendidikan tersebut tersebar luar adalah lingkungan bisnis di Amerika yang membutuhkan tenaga kerja. Industrialiasi memerlukan sebuah populasi yang tersosialisasi dalam kerangka interaksi dan tingkah laku. Dalam kata lain, pabrik-pabrik membutuhkan pekerja yang bisa duduk diam.

“Banyak pekerja di masa yang akan datang tidak akan digerakkan kreatifitas yang mengacu pada kata-kata “Kerjakanlah apa yang kamu sukai.” Banyak pekerja akan terpenjara dalam sistem automisasi yang menggabungkan tenaga kerja manusia dan komputer. Tidak dalam artian berupa teknologi cyborg yang seksi, namun sebaliknya terbentuk menjadi seperti call center – layanan pelanggan yang buruk”


Seperti saat ini, tenaga kerja retail yang harus menyapa setiap pembeli potensial dengan senyum, banyak orang pada ekonomi di masa yang akan datang akan melakukan pekerjaan tanpa penghargaan yang mana terlalu mahal bagi robot untuk menggantikannya. Kita membuat segala hal dalam kehidupan sosial kita berjalan otomatis agar dapat dipekerjakan, hal utama yang dibutuhkan tenaga kerja agar dapat terikat dengan sistem yang serba otomatis.

Jadi dari semua hal itu terlahir satu pertanyaan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, dari dunia teknologi yang termediasi?

****

Pendidikan telah lama dijadikan sebagai solusi untuk menangai masalah kesenjangan ekonomi (walaupun beberapa laporan menunjukkan pendidikan tidak memperbaiki kesenjangan). Ketika retorika tentang personalisasi pembelajaran menggarisbawahi potensi untuk mengatasi kesenjangan, Tyre berpendapat bahwa guru yang baik adalah kunci proses personalisasi pembelajaran bisa berjalan.

Para siswa dari sekolah yang bagus mungkin akan mendapatkan seorang guru yang bagus. Mereka juga lebih suka mendapatkan seorang guru yang telah dilatih dan terampil dalam menggunakan teknologi, dan bagaimana memadukannya dalam pembelajaran di dalam ruang kelas. Jika teknologi ini benar-benar “memperbesar citra guru,” hal ini belum tentu menjadi tanda yang baik bagi siswa-siswa dari sekolah yang levelnya lebih rendah yang mana kemungkinannya jauh lebih kecil mendapatkan guru yang bagus.

Teknologi juga memerlukan biaya yang cukup besar. Dan saat ini semakin banyak sekolah dengan pendapatan kecil menganggarkan uang dalam jumlah besar untuk pengadaan teknologi baru dengan harapan dapat memperbaiki berbagai masalah yang dihadapi oleh para siswa yang statusnya masih rendah. Sebagai hasilnya, semakin sedikit anggaran untuk menyediakan guru yang berkualitas dan sumber daya lain yang diperlukan oleh sekolah.

****

Saya berharap saya memiliki solusi untuk masalah yang sedang dialami oleh pendidikan kita, namun saya selalu menemui jalan buntu, mungkin disebabkan oleh kepungan kepentingan politik yang memungkinkan terjadinya segala intervensi. Secara historis, pendidikan merupakan wewenang sekolah setempat dan menciptakan kebijakannya sendiri. Selama 30 tahun terakhir, pemerintah federal dan beberapa korporasi bekerja sepenuh tenaga untuk menciptakan pendidikan terpusat.

Dari buku panduan ke sistem jenjang, perusahaan-perusahaan besar telah menawarkan pendidikan terstandarisasi, yang nantinya membuat sekolah-sekolah merasa memiliki hutang budi pada desain logis yang mereka rancang. Secara serentak, melalui kepentingan yang sah tentang berbagai variasi pengalaman masing-masing siswa, pemerintah federal berupaya untuk mengimplementasikan standar pembelajaran. Mereka menggunakan pendanaan sebagai tonggak kesesuaian, bahkan politik setempat dan sumber daya yang jumlahnya terbatas termasuk dalam penghambat jalan.

Personalisasi pembelajaran memiliki potensi untuk mengenalkan sepenuhnya suatu unsur baru dalam rancang bangun pendidikan yaitu: dampak jaringan. Bahkan dengan sistem perangkingan yang membandingkan satu sekolah dengan sekolah lain, kita belum pernah memiliki sebuah sistem dimana satu kesempatan belajar siswa benar-benar bergantung dengan yang lain. Dan juga, itulah inti bagaimana personalisasi pembelajaran dapat berjalan. Sistem tersebut tidak berevolusi dari perorangan, namun berdasarkan dari apa yang dipelajari tentang siswa yang tertulis jelas.

Personalisasi pembelajaran, yang kadang cukup ironis, jauh lebih sosialis dibandingkan kemunculannya pertama kali. Anda tidak dapat mempersonalisasi teknologi tanpa membangun model yang begitu dalam saling bergantung satu sama lain. Dengan kata lain, semua ini tentang menciptakan jaringan orang-orang dalam dunia yang super individualistis. Ketercampuran yang aneh dari ideologi neoliberal dan sosialis.

Sama seperti sistem rekomendasi yang menghasilkan pengalaman online yang berbeda-beda, menciptakan dinamika dimana sudut pandang seseorang tentang internet bisa sangat berbeda dengan orang lain, begitu juga dengan platform pembelajaran personalisasi.

“Lebih dari segalanya, apa yang personalisasi pembelajaran tunjukkan kepada saya adalah kenyataan yang sebenarnya bahwa lingkungan sosial kita harus mulai berjuang menghadapi bagaimana disaat bersamaan kita saling terhubung namun juga berbeda-beda. Kita adalah suatu individu dan kita juga merupakan bagian dari jaringan.”


Dalam dunia pendidikan, kita tidak dapat dan seharusnya tidak memisahkannya dalam dua hal yang berbeda. Dengan menyadari keterhubungan alami kita, kita mungkin mulai bisa memenuhi janji dari apa yang teknologi tersebut tawarkan kepada para siswa.

 

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.