Negaranya Pecandu Smartphone
“Korea Selatan sebagai salah satu pusat perkembangan smartphone dunia, mulai menanggapi serius masalah kecanduan yang dialami oleh sebagian besar generasi mudanya. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri, saya kira hal ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Korea Selatan”
– catatan editor –
Artikel asli dalam Bahasa Inggris oleh: Elizabeth Woyke
Ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh: Taufik Al
Dicek dan ditinjau ulang oleh: Reopan editor
Sam-Wook Choi seorang psikiater asal Korea yang memiliki spesialisasi dalam riset kecanduan, termasuk kecanduan minuman keras, judi dan ketergantungan nikotin. Pada tahun 2011, Choi mulai meneliti sebuah potensi baru kecanduan: kecanduan smartphone.
Di Amerika Serikat, kebanyakan dari dokter bersikap skeptis terhadap kecanduan terkait teknologi. Baik itu kecanduan internet ataupun smartphone keduanya telah terdaftar di Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), yang merupakan pedoman utama untuk mendiagnosa dan menggolongkan gangguan mental. (penyakit game online telah ditambahkan dalam pedoman edisi terakhir, DSM-5, namun masih butuh penelitian lebih lanjut). Walaupun para psikiater bergerak lamban dalam memasukkan kecanduan teknologi dalam daftar diagnosa mereka, sebuah perkumpulan dokter yang sedang berkembang di Korea Selatan sedang berupaya mencari bukti-bukti terkait diagnosa tersebut.
Choi dan koleganya menyatakan bahwa mereka telah menemukan dan menangani bukan hanya kecanduan internet namun juga kecanduan smartphone. Walaupun kecanduan smartphone termasuk “sangat berkaitan dengan pemakaian internet secara fungsional dan psikologis,” sebagaimana ia dan koleganya tekankan dalam sebuah tulisan terbaru mereka, mereka berpendapat bahwa dua gangguan tersebut berbeda. Mereka menemukan bahwa para pecandu internet kebanyakan ialah mereka yang menghabiskan hampir seluruh waktu mereka bermain game online, dimana para pecandu smartphone mencurahkan lebih banyak waktu pada aplikasi-aplikasi jejaring sosial. Uichin Lee, seorang profesor di Korea Advanced Institute of Science & Technology (KAIST), menjelaskan, smartphone “biasanya adalah suatu komunikasi antara orang-orang yang mempunyai hubungan di dunia nyata. Pecandu smartphone mungkin berpikir bahwa mereka sedang memperkuat hubungan mereka di dunia nyata (saat mereka menggunakan ponsel) disaat sebenarnya mereka terlalu banyak memakai aplikasi untuk mengelola hubungan mereka.”
Mungkin karena fokus pada hubungan, pecandu smartphone cenderung adalah wanita sedangkan pecandu internet lebih condong kepada laki-laki, walaupun sulit kita temui data statistik mengenai penggolongan berdasarkan jenis kelamin.
Jika kecanduan smartphone meningkat di suatu tempat, mungkin Korea Selatan adalah tempatnya: Korea merupakan markas dari dua raksasa smartphone – Samsung dan LG – dan diklaim sebagai salah satu negara dengan jaringan 4G LTE tercepat di dunia. Lebih dari 80% orang Korea memiliki smartphone, dibanding orang Amerika yang sekitar 70%, dan rata-rata mereka menghabiskan lebih dari empat jam sehari menggunakan ponsel mereka. Korea Selatan juga mempunyai sejarah tentang keprihatinan masyarakat dan intervensi pemerintah terkait kecanduan internet. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah Korea mulai meneliti dan melakukan survei terkait kecanduan smartphone, mendahului negara-negara lainnya di dunia.
Choi mengakui bahwa penelitian mengenai kecanduan smartphone baru dimulai akhir-akhir ini. Penelitian yang dilakukan juga masih dalam skala yang kecil dengan jangka waktu yang pendek. Standarisasi diagnosa juga belum ada. Para peneliti di Korea baru-baru ini mengembangkan beberapa kuesioner penilaian diri untuk mengukur kecanduan smartphone, namun belum satupun yang sudah dianggap resmi. Walaupun beberapa ilmuan ahli syaraf telah menyarankan bahwa kecanduan internet dapat mengubah fungsi otak seperti yang terjadi pada kecanduan alkohol dan obat-obatan, para peneliti masih belum menyajikan data untuk kecanduan smartphone.
“Jika anda mengunjungi PubMed (mesin pencari untuk National Library of Medicine, perpustakaan biomedis terbesar didunia) disana ada sekitar 20 artikel yang memasukkan ‘smartphone addiction’ sebagai sebuah istilah, dan kebanyakan dari artikel tersebut hanya berbicara mengenai kecanduan smartphone sebagai suatu fenomena,” Choi menekankan. “Jika kita benar-benar ingin menyebut kecanduan smartphone sebagai suatu kecanduan, kita harus menyediakan bukti biologis seperti rangkaian sirkuit otak, karena hal tersebut ada dalam semua kecanduan.”
Tetapi Choi juga menyebutkan bahwa perilaku kecanduan lebih sering muncul karena masalah-masalah sosial, baru setelah itu disusul dengan keterangan ilmiah. “butuh waktu bertahun-tahun untuk menemukan bukti medis,” terangnya.
Saat ini, para dokter di Korea mendefiniskan kecanduan smartphone sebagai kelebihan pemakaian yang mengganggu kehidupan sehari-hari penggunanya dan memicu gejala-gejala kecanduan, suasana hati yang berubah-ubah dan menarik diri dari masyarakat. Dalam satu penelitian terbarunya, Choi dan beberapa koleganya menulis bahwa kecanduan smartphone, seperti gangguan lainnya yang dikontrol oleh dorongan hati, akan “mengganggu sekolah atau pekerjaan; mengurangi interaksi sosial di dunia nyata; mengurangi kemampuan akademik; dan dapat menyebabkan masalah-masalah dalam berhubungan.” Karena smartphone mudah dibawa dan mudah dipakai secara sembunyi-sembunyi, mengidentifikasi kelebihan pemakaian akan lebih sulit dibanding game online di komputer. Hasilnya, para peneliti merasa terdesak untuk menggolongkan kondisi ini dengan lebih baik lagi. Dibawah ini adalah beberapa hal yang telah dipelajari oleh para peneliti di Korea mengenai kecanduan smartphone sejauh ini:
#1 Para pecandu smartphone cenderung memakai ponsel mereka dengan cara yang berbeda
Kecanduan smartphone bukan hanya masalah kelebihan pemakaian. Ya, para pecandu ini menghabiskan waktu lebih banyak menggunakan ponsel mereka daripada mereka yang tidak kecanduan (menurut suatu penelitian 22% lebih lama) namun akar permasalahannya lebih banyak pada bagaimana dan mengapa orang-orang menggunakan ponsel mereka. Sebagai contoh, penelitian terbaru oleh Lee, Profesor dari KAIST, menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan smartphone untuk tujuan “memperbaiki suasana hati,” seperti menghilangkan kebosanan, stres atau depresi, ini akan membentuk sebuah kebiasaan dalam menggunakan ponsel mereka untuk tujuan tersebut, yang pada akhirnya akan berujung pada perilaku kecanduan. Lee juga menemukan bahwa para pecandu memakai ponsel mereka dalam jangka waktu yang lama pada sore hari (mulai jam 6 sore sampai tengah malam) daripada pengguna yang “tidak beresiko”. Sebagai tambahan, para pecandu berulang-kali berselancar di jaringan mobile untuk mencari “kepuasan sesaat”, seperti update berita terbaru, dan mereka mudah teralihkan dengan pemberitahuan masuk dari aplikasi pesan instan dan jejaring sosial, seperti KakaoTalk (hampir sama dengan WhatsApp) dan Facebook.
Heejune Ahn, seorang profesor di National University of Science and Technology Seoul, mendapati hal serupa bahwa para pecandu tertarik pada aplikasi pesan instan dan jejaring sosial dan lebih banyak memakai ponsel mereka antara jam 11 malam sampai 3 pagi dibanding dengan mereka yang tidak kecanduan. Para peneliti mengatakan bahwa pecandu smartphone mempunyai kontrol diri yang terbatas sehingga cenderung untuk terus mengecek aplikasi-aplikasi pesan instan dan jejaring sosial (terutama untuk menanggapi notifikasi terbaru) dan penggunaan tersebut membuat mereka tetap terjaga di malam hari.
#2 Software bisa mengidentifikasi pengguna smartphone yang bermasalah
Baik Ahn dan Lee masing-masing mengembangkan aplikasi Android tersendiri yang akan merekam bagaimana orang memakai ponsel mereka sehingga dapat mengidentifikasi tanda-tanda kecanduan. Aplikasi dari Lee memanfatkan fitur “layanan aksesbilitas” yang ada di Android, yang awalnya Google ciptakan untuk membantu pengguna yang menyandang disabilitas. Aplikasi ini bisa mendeteksi semua yang dilakukan oleh pengguna dari mulai penggunaan aplikasi sampai status ponsel tersebut, seperti saat layar mati atau menyala.
Kedua profesor tersebut merekrut partisipan untuk eksperimen mereka dengan menjelaskan cara kerja aplikasi tersebut dan meminta mereka untuk mengunduh aplikasi itu. Mereka juga diberikan kuesioner dan atau diwawancarai secara pribadi mengenai subjek-subjek studi mereka untuk mengukur pengaruh ataupun potensi kecanduan pada seseorang. Kemudian, para profesor tersebut mengamati bagaimana peserta “beresiko tinggi” menggunakan ponsel mereka dibandingkan dengan sukarelawan yang “tidak beresiko.”
Ahn dan Lee menemukan bahwa para pecandu smartphone cukup berbeda dalam pola pemakaian smartphone sehingga aplikasi tersebut dapat dilatih untuk mengidentifikasi mereka secara otomatis.
Setelah mereka mengumpulkan data-data tersebut, para profesor akan mengumpulkan informasi tersebut dan kemudian mengajarkan algoritma cara mendeteksi pengguna yang bermasalah. (Aplikasi mengirimkan data pengguna ke server berbasis cloud untuk dianalisis. komputer mempelajari algoritma tersebut kemudian menentukan resiko pengguna berdasarkan pola pemakaian.) Lee menjelaskan “Kami memasukkan data pemakaian pengguna baru kedalam algoritma, dan algoritma tersebut akan menggolongkan apakah mereka kecanduan atau tidak.” Dia membandingkan hasil dari algoritma dengan hasil kuesioner diagnosanya dan menyatakan aplikasi miliknya mampu menggolongkan pecandu dengan tingkat akurasi 87%.
#3 Aplikasi saja tidak dapat menyembuhkan kecanduan smartphone
Beberapa tahun belakangan ini, beberapa aplikasi pencegah kecanduan smartphone muncul di App Store iOS dan Google Play. Aplikasi-aplikasi ini menjanjikan untuk membantu para pengguna mendapatkan kembali kontrol atas pemakaian smartphone mereka dengan cara memonitor aktivitas ponsel dan aplikasi serta memberitahu mereka jika terjadi kelebihan pemakaian. Aplikasi dari Ahn mempunyai fitur-fitur serupa yang memungkinkan para penggunanya untuk melihat aplikasi mana yang paling sering mereka pakai dan berapa banyak waktu yang mereka habiskan menggunakan aplikasi tertentu selama tujuh hari terakhir.
Mereka yang menggunakan aplikasi dari Ahn, bagaimanapun, tidak berhasil merubah perilaku mereka. Ahn mengakui “Saya lihat bahwa aplikasi tersebut, tidak terlalu efektif dan bermanfaat pada orang yang kecanduan”. Dia menyimpulkan: “semestinya mereka didampingi dengan semacam proses penyuluhan.”
Choi, yang sering bekerja sama dengan Ahn, setuju dengan pendapat tersebut. “Motivasi adalah faktor yang paling penting (dalam memerangi kecanduan),” Choi mengatakan. “Para pecandu harus termotivasi untuk merubah perilaku mereka.” Choi berkata bahwa sebagian orang mungkin melihat aplikasi-aplikasi ini sudah cukup, namun pecandu smartphone “akut” membutuhkan intervensi dengan cara klasik, seperti penyuluhan ataupun terapi penyadaran perilaku. Ini merupakan kunci dikarenakan kecanduan smartphone telah dihubungkan dengan gangguan seperti depresi dan gelisah. Choi mengatakan “kita harus mencari tahu gangguan yang primer dan apa yang sekunder”. Aplikasi, kata Choi bisa memberikan “efek tambahan” pada metode-metode konvensional tersebut.
Satu pertanyaan yang harus lebih diteliti oleh para peneliti ini ialah apakah kecanduan smartphone merupakan permasalahan unik yang hanya terjadi di Korea. Choi berpendapat bahwa remaja Korea, sebagai contoh, bisa saja rentan terhadap kecanduan smartphone dikarenakan mereka menghabisakan banyak waktu di sekolah dan les-les privat setelah sekolah. “Para pelajar di Korea tidak punya banyak waktu untuk bersantai,” katanya. “malahan, mereka bermain dengan smartphone mereka saat ada waktu luang.” Choonsung Shin, peneliti teknologi dari Korea yang telah meneliti permasalahan penggunaan smartphone baik di Korea maupun Amerika Serikat mengatakan bahwa perbedaan budaya bisa berefek pada rasio kecanduan, namun dia menekankan bahwa faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin dan pekerjaan kemungkinan besar juga berperan.
Kami belum melihat kecanduan smartphone sebagai sebuah fenomena global. Namun paling tidak satu hal yang sudah jelas: ada jalan hingga ponsel kita bisa merasuki pikiran kita.
terimakasih atas infonya.
bisa ditampilkan jurnal dari koreanya? 🙂
Terima kasih kembali, kami tidak memiliki jurnal Koreanya.
Untuk mencari informasi lebih lanjut bisa mengikuti tautan/link aslinya yang sudah disediakan diatas.